Meningkatkan keadilan dan kebenaran disekolah

Keadilan di Era Dikotomi Pendidikan

(meningkatkan keadilan dan kebenaran disekolah)

PENDIDIKAN kita bolah dikata sedang berada di era dikotomi. Pembedaan oleh pemerintah maupun masyarakat seperti tercermin dalam pemberian status terakreditasi versus tidak terakreditasi, unggul vs tidak unggul, modern vs konvensional, mahal vs murah, dan favorit vs tidak favorit, berpotensi menumbuhkan diskriminasi sosial yang tidak berkeadilan.

Dalam Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005-2009 yang diajukan ke DPR, muncul dikotomi baru, membedakan pendidikan formal mandiri dan formal standar atas dasar kemampuan ekonomi dan akademis (Kompas, 6/4). Pendidikan formal mandiri merepresentasi pendidikan bagi masyarakat berkemampuan ekonomi, pendidikan elite, mahal, bermutu, dan menjadi tempat anak-anak yang memiliki kemampuan akademis tinggi. Sebaliknya, pendidikan formal standar merepresentasi pendidikan “biasa saja”, tempat berkumpulnya anak-anak yang tidak memiliki kemampuan akademis, miskin, dan disubsidi pemerintah.

Ada dua faktor yang melandasi perumusan dikotomi pendidikan formal mandiri vs formal standar itu. Pertama, keterbatasan kemampuan pemerintah menyediakan anggaran pendidikan. Sehingga, masyarakat yang mampu secara ekonomi, yang memandang pendidikan sebagai investasi ekonomi, perlu dimobilisasi melalui jalur pendidikan formal mandiri untuk menanggung biaya pendidikan sendiri. Sedangkan, masyarakat miskin yang tidak mampu berinvestasi disediakan jalur pendidikan formal standar yang biaya pendidikannya ditanggung pemerintah bersumber dari APBN.

Kedua, kenyataan 30 persen siswa (menurut Richard Felder) berkemampuan akademis tinggi, dirasa perlu mendapat perhatian khusus untuk masuk universitas. Selain memberi akses bagi anak-anak dari keluarga mampu secara ekonomi, pendidikan formal mandiri dimaksudkan memberi layanan kelompok anak yang memiliki kemampuan akademis itu. Dengan demikian, mereka yang memiliki kemampuan akademis tetapi berasal dari keluarga miskin akan mendapat “kemudahan akses”.

Kian jelas, terpeliharanya dikotomi yang berkembang dalam dunia pendidikan menjadi fakta sosial yang tak terantitesis. Kebijakan dikotomi pendidikan formal mandiri dan formal standar itu tampaknya tidak akan menjadi masalah bagi masyarakat lapis menengah ke atas. Selain akibat aneka kebijakan pemerintah, aspirasi masyarakat, terutama lapis menengah ke atas juga cenderung menumbuhkan dikotomi-dikotomi itu selaras dengan kian berkembangnya sistem budaya kapitalistik di masyarakat.

SEBAGAI unsur keragaman sistem sosial, aneka dikotomi itu sah-sah saja dibuat. Masalah menjadi lain saat aneka kebijakan pemerintah di bidang pendidikan cenderung memberi ruang gerak sebagian kecil masyarakat kelas menengah ke atas untuk mengambil keuntungan sebanyak mungkin; mengabaikan kepentingan serta hak orang-orang miskin yang kian terpinggirkan oleh ketidakberdayaannya. Keadilan menjadi barang yang harus diperjuangkan oleh sebagian besar masyarakat miskin.

Fenomena ini dengan mudah bisa kita lihat. Kenyataan kini, sekolah-sekolah bermutu, unggul, favorit, dan kelas “akselerasi” dihuni anak-anak dari keluarga kaya yang mampu berinvestasi secara ekonomis, dan nyaris tidak ada akses bagi anak-anak dari keluarga miskin. Padahal, rendahnya nilai ujian (kemampuan akademik) anak-anak miskin, tidak terlepas dari faktor rendahnya kualitas hidup orang-orang miskin. Kalaupun ada sebagian kecil anak-anak keluarga miskin yang mampu berkompetisi, mereka mendapatkannya dengan usaha atau kerja keras berlipat ganda daripada usaha yang dikeluarkan anak-anak keluarga kaya.

Dikotomisasi pendidikan formal mandiri dan formal standar ini ditengarai akan berjalan mulus, karena pemerintah daerah juga memiliki nafsu sama. Daerah kabupaten/kota sedang bernafsu membuat minimal satu “sekolah unggul”. Penajaman dikotomi sekolah bermutu-tidak bermutu, sekolah bagi orang kaya dan orang miskin, sekolah bagi anak bernilai ujian tinggi dan rendah sudah tidak tabu bagi sebagian besar pengambil keputusan di tingkat daerah.

Meski berstatus mandiri, pemerintah daerah tak segan-segan mengalokasikan anggaran pendidikan dari APBD guna mewujudkan sekolah elite. Para birokrat eksekutif dan legislatif daerah dengan mudah akan melakukan kompromi, karena sosok sekolah ini juga menjadi bagian aspirasi mereka sebagai anggota masyarakat kelas menengah atas. Tak menutup kemungkinan segala sumber dan energi pendidikan (human maupun nonhuman) akan dikerahkan ke sekolah kebanggaan ini, dan keran anggaran untuk mengurus sekolah-sekolah lain dikecilkan karena dipandang tidak penting. Di era otonomi daerah, bupati/wali kota akan mudah menggunakan tangannya mengatur dan mengumpulkan sumber-sumber potensialnya guna memenuhi ambisi daerahnya memiliki sekolah elite.

Jika itu yang terjadi, mimpi masyarakat bawah untuk dapat menggapai pendidikan bermutu kian jauh dari angan-angan. Kebijakan pemerintah kian menjauhkan keadilan dari jangkauan tangan-tangan orang miskin. Demi keadilan dan perlindungan bagi yang lemah, harus ada jaminan pemerintah yang mempertegas akses bagi orang miskin menjangkau sekolah-sekolah terbaik di daerahnya. Maka, kebijakan pemerintah harus memihak masyarakat miskin.

KEBIJAKAN pembedaan pendidikan formal mandiri dan formal standar harus menjadi keberpihakan pemerintah kepada masyarakat miskin. Penghematan APBN dan aneka bentuk aset pendidikan potensial lainnya yang seharusnya disubsidikan kepada sekolah formal mandiri, tidak boleh dikalkulasi sebagai penghematan guna mengurangi beban finansial pemerintah, tetapi harus dialihkan untuk menambah subsidi pemerintah dalam kerangka mempercepat peningkatan mutu pendidikan formal standar. Dengan demikian, keberpihakan pemerintah kepada pendidikan formal standar merupakan wujud keberpihakan berkeadilan kepada sebagian besar masyarakat lemah.

Seperti kata John Rawls dalam Theory of Justice (1971), selain mengandung makna kejujuran, kebenaran, dan rasionalitas, keadilan juga mengandung manfaat dan kebajikan (ethic). Kejujuran, kebenaran, dan rasionalitas, mengandung prinsip persamaan hak dan kewajiban dalam situasi sama. Tetapi, jika kesamaan itu berakibat ketidaksamaan keuntungan, terutama jika mengakibatkan kurang beruntungnya pihak yang lemah, maka agar adil perlu ada pemihakan tegas kepada yang lemah.

Di tengah dikotomi yang umumnya tidak memberi peluang bagi yang lemah, aneka kebijakan pemerintah yang hanya menggunakan asas kesamaan hak dan kewajiban, belumlah cukup. Dalam kondisi seperti ini, demi keadilan sejati, aneka kebijakan pemerintah tentang pendidikan seharusnya selalu berpihak kepada masyarakat miskin, terpinggirkan, yang menjadi mayoritas penghuni negeri ini.

Tinggalkan komentar